Dugaan pemalsuan silsilah keluarga, Nenek umur 92 Tahun dipanggil ke Pengadilan.

KUMHAM, News, Peristiwa239 Dilihat

Selasa, 19 Mei 2025.

Ngurah Galang Jayadhifa, S.H., M.H.

Balisticnews.com – Menghebohkan !!, nenek lanjut usia dipanggil ke Pengadilan atas dugaan pemalsuan silsilah keluarga untuk mengklain tanah warisan. Bagaimana pandangan hukumnya? Apakah hukum negara ini sudah tidak mempunyai hati nurani? Yuk kita kaji bersama.

Berdasarkan hukum positif Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Pasal 112 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menyatakan bahwa :

“Penyidik berwenang memanggil tersangka atau saksi untuk didengar dan diperiksa, dan mereka wajib datang setelah mendapat panggilan yang sah dari penyidik.”

Lalu pada Pasal 224 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Mengatur sanksi bagi orang yang menolak memberikan keterangan atau tidak datang setelah dipanggil sebagai saksi, ahli, atau tersangka dalam proses peradilan.

Jika nenek tersebut dipanggil karena terduga melakukan pemalsuan atau untuk dimintai keterangan, maka secara hukum nenek tersebut wajib hadir. Ketidakhadiran bisa dianggap menghambat proses hukum dan berpotensi dikenai sanksi.

prinsip egalitarianisme hukum menyatakan bahwa hukum berlaku sama untuk semua orang, tanpa pengecualian usia, jabatan, atau status. Ini adalah prinsip fundamental negara hukum (rechtsstaat), yang juga ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945:

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Dari Perspektif Hukum Prosedural
Penyidikan dan pemanggilan tetap sah secara hukum, terlepas dari usia, selama yang bersangkutan dianggap mampu secara hukum (rechtsbekwaam) dan mampu bertindak hukum (handelingsbekwaam).
Namun, dalam praktiknya, aparat penegak hukum dapat menggunakan asas diskresi dan kemanusiaan, seperti :

1. Memeriksa di kediaman jika kondisi kesehatan tak memungkinkan;
2. Menghadirkan tim medis saat pemeriksaan;
3. Menunda atau menghentikan penyidikan jika berdasarkan visum psikiatri/orang tua tersebut tidak lagi mampu memahami perbuatan hukumnya.

Sedikit mengacu pada dugaan pemalsuan tersebut penulis memiliki pandangan mengenai Perspektif Substansi Hukum
Jika nenek tersebut ikut menandatangani dokumen yang terbukti palsu, pertanyaannya adalah:

Apakah ia memahami isi dokumen yang ditandatangani?

Apakah ada unsur kesengajaan atau hanya menjadi korban manipulasi?

Ini krusial, karena pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP) memerlukan niat jahat (dolus), bukan sekadar tindakan fisik menandatangani. Artinya, usia lanjut bukanlah pembebasan otomatis, tapi niat dan kesadaran hukumnya yang jadi kunci.

pengadilan adalah tempat rasionalitas hukum ditegakkan, bukan belas kasihan. Namun, dalam putusan, terutama saat menjatuhkan hukuman, hati nurani hakim berperan besar dalam memilih sanksi yang proporsional.

Misalnya :

Jika terbukti bersalah, tapi usia dan kondisi fisik/mental sudah sangat lemah, maka hakim dapat memutus pidana bersyarat, atau bahkan tidak menjatuhkan hukuman penjara dengan alasan kemanusiaan.

Asas ini tercermin dalam:

Putusan-putusan Mahkamah Agung yang mempertimbangkan keadilan substantif.

Selain itu adanya Asas ultimum remedium, di mana pidana bukan satu-satunya jalan keluar, tentu saja majelis hakim akan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut.

Pemanggilan nenek dengan umur 92 tahun tersebut hukan bentuk kriminalisasi melainkan bentuk menegakkan hukum yang menjunjung tinggi marwah pengadilan yang menyamaratakan semua warga negara Indonesia, hati nurani bukan alat utama dalam proses hukum, tapi menjadi bagian penting dalam menjatuhkan suatu putusan, apalagi menyangkut pada kemanusiaan dan umur yang sudah rentan.

Mengutip pada Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman:

“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Korelasinya adalah hakim merupakan profesi yang sangat mulia guna menegakkan keadilan berdasarkan hukum positif Indonesia, serta selalu mempertimbangkan hati nurani dan rasa kemanusiaan yang tinggi dalam setiap putusannya, selama nenek tersebut tidak ada niat jahat, tidak mengerti substantif dokumen yang beliau tanda-tangani, bahkan pada saat penandatanganan adanya pemaksaan, maka penulis mengharapkan Majelis Hakim mempertimbangkan segala aspek dalam menegakkan hukum.

~ Fiat Justitia Ruat Caelum ~ “Hendaklah keadilan ditegakkan, sekalipun langit runtuh.”

Jika seorang nenek usia 92 tahun benar-benar terbukti ikut dalam pemalsuan dokumen dan memenuhi unsur delik (dengan kesadaran penuh), maka berdasarkan prinsip ini, keadilan tetap harus ditegakkan, walaupun masyarakat akan merasa iba atau tidak tega.

Namun, implementasi prinsip ini tidak berarti keadilan harus kaku atau tidak manusiawi karena dalam hukum, ada juga asas proporsionalitas, kemanusiaan, dan kepatutan, yang memberi ruang bagi hakim untuk menyeimbangkan “kepastian hukum” dengan “rasa keadilan”.

Rahayu.
Segala kritik dan saran bisa disampaikan melalui Instagram penulis @ngurahgalangjayadhifa.

Komentar