PRINSIP FILSAFAT HUKUM MENGENAI VAKSIN MILIK BILL GATES APAKAH HAK ATAU KEWAJIBAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA.

Rabu, 21 Mei 2025.

Oleh Ngurah Galang Jayadhifa, S.H., M.H.

Balisticnews.com – Tidak ada makan siang yang gratis, begitulah kira-kira tujuan kedatangan treliuner dunia yang kita kenal dengan nama BILL GATES, apa agendanya? Tepat pada tanggal 7 Mei 2025 BILL GATES memberikan hibah senilai 159 juta dolar AS atau sekitar Rp 2,6 triliun untuk Indonesia saat berkunjung ke Istana Merdeka. Dana ini akan digunakan untuk berbagai proyek di bidang kesehatan, pertanian, teknologi, dan bantuan sosial. Tentu saja kehadir treliuner ini menjadi sorotan berbagai media, terutama ketika BILL GATES memilih Indonesia menjadi lokasi uji coba vaksin TBC. Pembaca yang penulis hormati, kita breakdown terlebih dahulu tentang suatu pemikiran mengenai Prinsip Filsafat Hukum Mengenai Vaksin Milik Bill Gates Apakah Hak atau Kewajiban Bagi Warga Negara Indonesia.

Isu ini sangat menarik untuk dibahas dari segi filsafat hukum, bukan sekedar pembahasan aturannya saja namun pembahasan yang mendalam mengenai kebijakan apa yang tepat diambil oleh pemerintah Indonesia, kita tentu saja sudah pernah berhadapan dengan vaksin-vaksin sebelumnya, dan topik hak atau kewajiban ini selalu diminati oleh kalangan akademisi untuk diuji penyelarasan antara das sollen dengan das sein-nya.

Dari perspektif filsafat hukum progresif dan HAM, vaksin adalah bagian dari Hak atas kesehatan (Pasal 28H UUD 1945). Negara wajib menyediakan layanan vaksinasi untuk menjamin warga sehat secara fisik dan mental. Filsuf seperti John Rawls menyokong keadilan sosial dan distribusi manfaat publik, vaksin adalah bagian dari upaya meratakan akses kesehatan. Kesimpulan sementara : vaksin adalah hak yang harus disediakan negara tanpa diskriminasi.

Namun, dalam kondisi darurat kesehatan publik, seperti pandemic, vaksin bisa dianggap kewajiban moral dan hukum, untuk mencegah penyebaran penyakit. Berdasarkan pandangan filsafat utilitarianisme (Jeremy Bentham, J.S. Mill) mendukung tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi banyak orang yaitu vaksinasi wajib demi keselamatan bersama. Melalui UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta UU Kekarantinaan Kesehatan bisa mewajibkan vaksinasi dalam konteks darurat nasional. Kesimpulan sementara vaksin bisa menjadi kewajiban, terutama jika tanpa vaksin, keselamatan publik terancam.

Pandangan etis atas vaksin global, tokoh seperti BILL GATES yang mendanai pengembangan dan distribusi vaksin lewat Gates Foundation. Berbagai kritik muncul karena kekhawatiran soal kedaulatan, transparansi, dan kontrol asing terhadap kebijakan kesehatan dalam negeri.

Dalam filsafat post-kolonial, muncul pertanyaan apakah Indonesia benar-benar berdaulat dalam mengambil keputusan, atau hanya mengikuti kehendak global? Di sinilah filsafat hukum kritis muncul yang dimana akan mengkaji relasi kuasa antara negara berkembang dan kekuatan filantropi global.

Pandangan Filsafat hukum kritis (Critical Legal Theory/CLT) muncul sebagai bentuk pembongkaran terhadap struktur hukum yang tampak netral, namun sebenarnya sarat kepentingan kekuasaan dan ideologi dominan. Dalam konteks vaksinasi global, ini menjadi sangat relevan Ketika Negara berkembang tampak “dibantu” oleh entitas global (misalnya yayasan besar seperti Gates Foundation), Namun, dibalik bantuan itu terdapat asimetris kekuasaan, yaitu kontrol terhadap Sumber daya medis (vaksin, teknologi), Data populasi, Arah kebijakan kesehatan nasional.
Asumsi Kritis terhadap “Filantropi Global” Filsafat hukum kritis memandang terkait beberapa hal diantaranya :

1. Bantuan tidak selalu netral Meskipun dikemas dalam bentuk bantuan atau kerjasama, filantropi global kerap bersifat mengikat negara penerima dalam ketergantungan, membentuk agenda kebijakan yang tidak sepenuhnya otonom, mengabaikan konteks lokal dan kedaulatan hukum domestik.
Contoh: Ketika vaksin hanya diberikan jika negara menerapkan sistem pelaporan atau pengawasan yang sesuai dengan standar lembaga donor;

2. Hukum Sebagai Alat Kuasa Global Dalam perspektif kritis, hukum bukan hanya alat keadilan, tetapi: Alat hegemonik untuk melanggengkan dominasi negara atau korporasi besar atas wilayah global selatan (global south), Kebijakan vaksin bisa menjadi pintu masuk penetrasi kepentingan global ke sistem hukum nasional. Ini mengingatkan kita pada Michel Foucault dan Antonio Gramsci bahwa kekuasaan tidak selalu melalui kekerasan, tapi lewat normalisasi wacana. Vaksinasi bisa menjadi bagian dari “kewajiban rasional” yang membuat masyarakat patuh terhadap struktur dominasi tak kasatmata;

3. Kritik terhadap “Depolitisasi Bantuan” Filsafat hukum kritis juga membongkar bagaimana bantuan (vaksin, teknologi AI kesehatan, dll) dibingkai sebagai: “Urusan teknis, bukan urusan politik.” Padahal kenyataannya Ada negosiasi kontrak, misalnya hak kekayaan intelektual vaksin, Ada kontrol terhadap infrastruktur data misalnya siapa yang menyimpan dan mengelola data penerima vaksin, Ada syarat tersembunyi (misal: penggunaan sistem pelacakan tertentu).

Semua ini adalah tindakan politis yang membentuk hukum dan kebijakan dalam diam-diam. Apa Dampaknya bagi Indonesia?
Indonesia sebagai Negara Berkembang akan terjebak dalam dilema antara menjaga kedaulatan hukum dan mengakses sumber daya penting seperti vaksin, alat medis, atau dana bantuan. Jika tidak kritis, maka bisa tunduk pada struktur hukum global yang ditentukan lembaga besar atau negara maju.

Perlunya Kedaulatan Hukum Kritis mengenai kajian kebijakan vaksinasi yang melibatkan elemen lokal, masyarakat sipil, dan pakar hukum. Harus ada mekanisme transparansi dan akuntabilitas dalam kerjasama internasional (termasuk filantropi seperti Gates Foundation).

Kesimpulan Filsafat hukum kritis mengingatkan kita untuk tidak larut dalam wacana “kebaikan global” tanpa kritik, Untuk mengkaji hukum tidak hanya dari sisi normatif, tapi juga dari struktur kekuasaan yang membentuknya, Untuk mendorong negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, agar tidak hanya menjadi objek kebijakan global, melainkan subjek yang berdaulat dan sadar hukum.

Berdasarkan hukum Vaksin adalah hak, karena negara berkewajiban menyediakan layanan kesehatan yang adil, namun dalam situasi tertentu, vaksin bisa menjadi kewajiban, terutama jika menyangkut kepentingan umum dan darurat kesehatan nasional. Tapi hak individu tetap penting, sehingga prinsip informed consent (persetujuan sadar) tak boleh diabaikan. Peran lembaga luar negeri seperti yang dikaitkan dengan BILL GATES harus dikritisi, tapi juga diapresiasi jika bermanfaat selama kedaulatan Indonesia tidak dikompromikan.

Lalu solusi hukum apa yang akan penulis bagikan disini? Penulis akan memperingatkan seluruh pembaca untuk selalu mengkritisi setiap kebijakan yang berpotensi memuat nilai budak filantropi global yang akan membelenggu Negara Kesatuan Republik Indonesia kita, selain itu penulis juga menyatakan bahwa hukum bukan alat yang bisa pemerintah jadikan sebagai alat kuasa global, yang dimana ketika pintu hukum sudah dibukakan dari dalam oleh pemerintah kita maka secara diam namun pasti filantropi global akan masuk dan mencengkram kedaulatan kita, efeknya? Indonesia memang berstatus berdaulat secara hukum, namun secara fakta sosial kedaulatan tersebut ada campur tangan kekuatan global yang bisa mempengaruhi setiap kebijakan nasional kita, lalu efek yang dirasakan Masyarakat apa? Hegemoni yang masif dapat membatasi ruang gerak kita, membatasi kebebasan kita, membatasi pola pikir kritis kita, sehingga menjual demokrasi kita menuju kearah negara demokrasi dengan system pemerintahan diktator.